MENILAI INDEKS PRESTASI KETOLOLAN (IPK) MAHASISWA (Mengupas sisi perkuliahan mahasiswa Aceh pada masa konflik)

Tulisan ini merupakan pengalaman saya dan teman-teman ketika masih mengenyam bangku kuliah pada periode tahun 2000 sampai dengan 2007. Dalam tulisan ini saya menceritakan bagaimana pada saat itu (masa konflik) dimana kawan-kawan mahasiswa tidak menampakkan eksistensi dalam persoalan Aceh. Bagaimana untuk mengambil posisi "aman" sang mahasiswa tidak mau berorganisasi, dan hanya fokus terhadap perkuliahan. Jangankan peduli terhadap kondisi Aceh, untuk bersuara terhadap kebijakan dekanan dan rektorat pada saat itu kawan-kawan mahasiswa pada malas dan tidak peduli.

Pada saat itu hampir semua Buletin atau Jurnal-Jurnal di Kampus Unsyiah, baik ditingkat BEM Unsyiah maupun di tiap-tiap Fakultas, rata-rata membahas tentang eksistensi mahasiswa. Tentunya terhadap lingkungan sekitar mahsiswa itu sendiri. Tidak usah jauh-jauh kita ambil contoh, misalnya bagaimana mahasiswa menilai tentang kebijakan-kebijakan Rektor, Dekan maupun Dosen yang mempersulit mahasiswa. Itu belum lagi kita bicarakan peran mahasiswa terhadap persoalan Aceh.

Untuk merenungi sejauh mana arah dan perjalanan kita sebagai mahasiswa, ada sebuah pengalaman yang menarik, katakanlah dari seorang mahasiswa yang prihatin terhadap eksistensi mahasiswa.

Aku adalah seorang manusia yang lazimnya rekan-rekan sekalian. Hanya yang tak lazim bagiku adalah aku seorang mahasiswa yang duduk, diam dan dengar lalu pulang ke rumah/kost sambil menggurutu disepanjang jalan tanpa pernah berpikir bahwa aku adalah seorang mahasiswa. Hingga pada akhirnya aku hanya menjadi seorang mahasiswa (lebih tepat lagi disebut sebagai robot) yang tidak mengetahui apa-apa tentang lingkungan masyarakat, organisasi, tidak kritis, kurang kreatif, tidak mempunyai ide-ide yang dapat dikembangkan seperti layaknya seorang mahasiswa yang penuh dengan energisitas, kreativitas dan kritis dalam berpikir terhadap lingkungan disekitarnya. Yang aku tahu hanyalah omongan-omongan dosen dari salam sampai wassalam, rumus-rumus yang rumit yang memang aku kuasai diluar kepala bahkan dapat terbaca dikeningku. Luar biasa bahkan sangat ruaaarrr biaassssaa. Ibaratnya dapat dibilang aku ini hanyalah sebuah perpustakaan berjalan yang lengkap dengan bahan perkuliahan dan bahan ilmiah bahkan novel-novel cinta. Tetapi tolong jangan tanyakan tentang apa yang terjadi dilingkungan sekitarku, jangan tanyakan aku tentang kreativitas,kritisi dan lain-lain selain kuliah. Pokoknya hanya kuliah, kuliah dan kuliah. Titik.

Semuanya itu aku sadari jelas bahwa yang aku lakukan itu adalah sangat salah. Tapi tetap tidak dapat berubah. Mungkin karena tidak ada sarana dan prasarana yang mndukung kearah itu. Aku sadari kalau dari segi kemampuan aku ada, terbukti dari aku tidak ada permasalahan yang berarti. Sesulit dan seberat apapun, terus kenapa!!!!!

Awalnya waktu masih kuliah kemampuanku masih tinggi. Kalau boleh dibilang kira-kira 100 lah. Tapi makin lama kuliahku makin menurun. Entah kenapa sebabnya aku nggak tau. Menurutku ada 4 faktor yg mempengaruhi ini semua.

1. Pada awal kuliah semua mahasiswa mempunyai keinginan untuk bergerak dengan mengembangkan kreativitasnya sebagai seorang mahasiswa. Hal ini ditunjukkan dengan nilai kecerdasan yang begitu tinggi.
2. Untuk periode tahun-tahun pertama kuliah, nilai ini makin tinggi. Hal ini dikarenakan bayangan mahsiswa baru terhadap kehidupan mahasiswa yang penuh dengan kreativitas, intelektualitas dan kemandirian belajar yang tidak mereka dapati di SMU. Ditambah dengan kebanggaan mereka sebagai seorang yang baru menjadi mahasiswa.
3. Keadaan yang ironi pada fase-fase berikutnya ketika mereka kuliah yang terjadi adalahhh proses permulaan penurunan kecerdasan intelektualitas dan kreativitas. Hal ini dikarenakan mulai timbulnya kekecewaan terhadap nuansa dan lingkungan yang tidak seperti mereka bayangkan bahkan harapkan serta efek dari kebanggaan semu terhadap status kemahasiswaan mereka.
4. Penurunan ini makin terus berlanjut sejalan dengan kesibukan kuliah dan kerumitan sistem birokrasi dan sistem kuliah yang kurang baik, belum lagi ditambah dengan kondisi keamanan yang masih belum pulih (ditandai dengan terjadinya penembakan dan penculikan terhadap beberapa kawan-kawan dari Fakultas Teknik Unsyiah) dan masalah-masalah finansial yang begitu mencekik leher sebagai akses dari kondisi keadaan orang tua di Kampung yang menyebabkan perubahan orientasi mahasiswa dalam kuliah (Orientasi Bisnis : mencari penghasilan tambahan).

Kondisi ini makin diperparah dengan dedikasi dan sikap dari sebagian dosen yang kurang konsentrasi terhadap masalah pendidikan dan proses belajar mengajar (subjektivitas yang tinggi dalam proses perkuliahan, persaingan dan ego antar dosen) yang menyebabkan menurunnya semangat mahasiswa dalam belajar dan mengembangkan kreativitas mereka. Kondisi penurunan ini terus terjadi selama masa perkuliahan hingga pada titik yang paling bawah yang akan diperoleh oleh seorang mahasiswa yang bersifat opurtunis, cuek, budaya nafsi-nafsi, egois dan akhirnya memunculkan budaya bahwa kuliah hanya sekedar belajar dan untuk mendapatkan titel Sarjana.

Begitulah sekelumit pengalaman pada saat masa kuliah (periode konflik) yang mana pada saat itu kebanyakan mahasiswa di Aceh cuma bisa fokus pada bangku kuliah saja. Artinya masuk kuliah utk dengar omongan dosen, lalu catat buku sampai abis (cbsa) dan kemudian begitu perkuliahan selesai langsung pulang ke rumah.

{ 2 comments... Views All / Send Comment! }

entry said...

nasriza : hadir ya!

Fadli Idris said...

Kalau kami dikampus dulu sering menyebutnya dengan istilah tukang kuliah untuk mahasiswa seperti.

Btw,

Ada 1 hal yang membuat mahasiswa diam seribu bahasa dan Labilnya pemikiran kaum intelektual kampus pada saat itu adalah tekanan dari pihak bertikai yang lura biasa. Bayangkan untuk pulang ke kampung saja Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) harus dibuang jauh-jauh, kalau ketahuan kita sebagai mahasiswa pada saat itu maka siap2lah mejawab beratus2 pertanyaan dalam sekali pemeriksaan.

Kalau pemeriksaan nya pass habis kontak senjata dan ketahuan sebagai mahasiswa, maka popor dan sepatu laras adalah hal lumrah yang kita terima.

Saya pernah mengalami hal tersebut di Banda Aceh, mereka memriksa dompet dan kebetulan didalam dompet terdapat KTM, tak ayal sebug pukulan dari popor senajata laras panjang tepang dikepala saya, tanpa ada sebuah pertanyaan pun. (tak perlu diceritakan habis :p)

Dari itulah patut kita maklumi kalau mahasiswa pada saat itu banyak yang diam terlebih pada masa-masa darurat militer. takkan ada yang berani bersuara, satu suara saja berarti nyawa melayang.

Tapi sekarang damai telah kita rasakan, dan suara-suara langtang mahasiswa kembali terdengar. bukankah begitu?